Bolehkah berobat dari yang haram? Sebagian orang ada yang berobat dari yang haram seperti air kencing yang najis dengan cara diminum. Ada juga yang berobat dengan arak atau khomr. Ada pula yang berobat dengan bahan yang mengandung unsur babi. Bagaimana hukum dalam masalah ini? Serial kali ini masih merupakan kelanjutan dari pembahasan vaksinasi yang masih berlanjut dalam beberapa seri.
Ibnu Taimiyah pernah ditanya, “Apakah boleh berobat dengan khomr?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Tidak boleh berobat dengan khomr karena mengingat adanya hadits dalam hal ini dan inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. Dalam kitab Shahih, di mana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai khomr yang digunakan sebagai obat. Beliau pun bersabda, “Khomr hanyalah penyakit, ia bukanlah obat.”[1] Dalam kitab sunan disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berobat dari yang khobits (sesuatu yang menjijikkan).[2] Ibnu Mas’ud berkata, “Allah tidak mungkin menjadikan kesembuhan bagi kalian dari sesuatu yang haram.”[3]
Beliau melanjutkan lagi di halaman lainnya, “Bagi sebagian yang membolehkan khomr untuk obat menyamakannya dengan dibolehkannya mengonsumsi yang haram seperti bangkai dalam kondisi darurat. Pendapat ini adalah lemah dari beberapa sisi:
(1) Orang yang dalam kondisi darurat dengan memakan yang haram, maka tujuannya untuk mempertahankan hidup bisa tercapai dan hilanglah bahaya yang menimpa dirinya. Sedangkan yang mengonsumsi yang khobits untuk berobat tidaklah bisa diyakini sembuhnya. Bahkan betapa banyak yang menempuh jalan berobat tidaklah meraih kesembuhan.
(2) Orang yang dalam kondisi darurat bisa menghilangkan bahaya yang menimpa dirinya hanya dari benda yang haram tersebut, tidak yang lainnya. Namun orang yang berobat dengan yang haram, bisa jadi disembuhkan dengan yang lainnya. Bahkan dengan do’a dan ruqyah bisa mendatangkan kesembuhan. Bahkan yang terakhir inilah yang paling ampuh sebagai obat.
(3) Memakan bangkai dalam kondisi genting (darurat) dihukumi wajib menurut kebanyakan ulama. Adapun berobat itu tidaklah wajib menurut mayoritas ulama, yang mewajibkannya hanya segelintir ulama (jumlahnya sedikit).[4]
Di halaman selanjutnya, Ibnu Taimiyah berkata mengenai lemak babi, “Adapun berobat dengan mengonsumsi lemak babi, itu tidak dibolehkan.”[5]
Kesimpulannya, tidak boleh berobat dengan menggunakan yang haram. Namun tentang masalah vaksinasi akan datang penjelasan lebih rinci yang diungkap dalam Fakta Sebenarnya Tentang Vaksinasi.
Hanya Allah yang memberi taufik.
—
Menjelang Maghrib 7 Syawal 1434 H, @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul
Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat
[1] Thoriq bin Suwaid Al Ju’fiy pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai khomr. Kemudian beliau melarang atau tidak suka untuk diolah. Kemudian Thoriq mengatakan bahwa khomr itu akan digunakan sebagai obat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
« إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ »
“Khomr itu bukanlah obat, namun ia adalah penyakit.” (HR. Muslim no. 1984). Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa ini adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa khomr bukanlah obat dan diharamkan berobat dengan khomr (Syarh Shahih Muslim, 13: 139).
[2] Dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari obat yang khobits (yang haram atau kotor).” (HR. Abu Daud no. 3870, Tirmidzi no. 2045 dan Ibnu Majah no. 3459. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Abud Darda’, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Allah telah menurunkan penyakit dan juga obatnya. Allah menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah, namun jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Daud no. 3874. Sanad hadits ini dho’if kata Al Hafizh Abu Thohir).
[3] Majmu’ Al Fatawa, 24: 266.
[4] Diringkas dari Majmu’ Al Fatawa, 24: 268-269.
[5] Majmu’ Al Fatawa, 24: 270.